Kamis, 14 Juni 2012

SEJARAH KRESEK


KRESEK
 KOTA SERAMBI BANTEN



Sejarah Nama
Dari bermacam sumber yang sampai kepada penulis setidaknya ada tiga riwayat lisan yang menjadi sejarah penamaan Daerah kresek. Yang pertama: bahwa Kresek adalah nama orang. Hal ini di kaitkan dengan nama seseorang yang dikubur di Gili Duhur, belakang Kantor kecamatan Kresek, yang di kenal dengan nama  Ki buyut Kresek. Yang kedua: Kresek adalah nama pohon yang diberi nama dengan nama pohon Kresek. Dahulu kala ada pohon kresek yang begitu besar di Kresek. Yang ketiga: Kresek adalah nama alat untuk mewadahi sesuatu karena dulu banyak para ulama dan bangsawan yang mengasingkan diri ke daerah kresek ketika terajdi kekacauan politik di kraton surasowan Banten.
Letak geografis
Secara geografis, Kecamatan Kresek berada di ujung Barat sebelah utara dari Kabupaten Tangerang. Wilayahnya berbatasan dengan kecamatan Sukamulya di sebelah timur, Gunung Kaler (pemekaran kecamatan Kresek) sebelah Utara. Sedangkan sungai Cidurian di sebelah barat menjadi batas antara Kresek dan kecamatan Binuang yang masuk wilayah Serang. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan Kresek bukanlah Kresek sebagai nama sebuah kecamatan tapi lebih spesifik Kresek sebagai sebuah desa yang terdiri dari masyarakat yang sebagian besar berasal dari satu keturunan yang kini telah mencapai jumlah sekitar limabelas ribu  jiwa, dengan menyertakan beberapa kampung yang walaupun secara letak formal pemerintahan berada di luar Kresek, tapi ketika ditilik dari sudut pandang adat dan kekeluargaan masih berada dalam satu rumpun yang sama.
Bahasa
Masyarakat Kresek khususnya ibu Kota kecamatan kresek, yakni Desa Kresek, dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa-Banten dalam keseharian. Bahasa Jawa-Banten ini berkembang selain karena letaknya dengan ibu kota kesultanan Banten pada zaman dahulu yang begitu dekat, juga karena memang sebagian masyarakat Kresek adalah keturunan bangsawan kraton Surasowan Banten yang nanti akan di jelaskan dalam bagian pembahasan asal-usul masyarakat Kresek.
Asal-Usul Masyarakat Kresek
Masyarakat Kresek diperkirakan telah menjadi suatu komunitas  penduduk tetap pada awal permulaan berdirinya kesultanan Banten, sama dengan daerah Banten utara lainnya seperti: Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk. Paling tidak beberapa tahun setelah daerah-daerah tersebut. Hal yang demikian itu bila jika benar bahwa Pangeran Jaga Lautan bin Maulana hasanuddin tinggal dan menetap di sekitar kawasan Pulo cangkir seperti letak makamnya saat ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa walau makam P. jaga lautan terletak di pulo Cangkir tetapi rumah kediamannya terdapat di cakung bersama dengan anaknya yaitu Raden kenyep yang merupakan Bapak moyang dari masyarakat Kresek. Jika ini benar, maka masyarakat Kresek lebih tua dari daerah sekitarnya.
Raden Kenyep mempunyai banyak anak yang semuanya menggunakan nama depan Cili. Entah nama Cili ini adalah nama asli atau hanya gelar belum ada penelitian lebih lanjut. Dalam buku sejarah Banten yang beredar di kalangan para sejarawan,  setidaknya ada dua nama Cili yang tercatat dalam sejarah. Yang pertama adalah dalam buku Tinjauan Kritis Sejarah Banten karya Djajadiningrat disebutkan bahwa Sultan Abul Mafahir (1596-1651) bila malam tiba sering berkeliling di kota yang ada dalam benteng bersama Ki Ciliduhung. Yang kedua dalam buku Sejarah Banten karya Yosef Iskandar disebutkan bahwa ketika Pangeran Suriadiwangsa, adipati sumedang berbelot dari Banten ke Mataram maka Sumedang diserang Kesultanan Banten dengan panglima perang seseorang yang bernama Cili Widara. Bila nama cili ini adalah nama asli, bukan gelar kebangsawanan, maka kemungkinan Ciliduhung dan ciliwidara adalah keturunan raden Kenyep menjadi kuat.
Raden Kenyep mempunyai anak yaitu: Ciliwulung, Ciliwangsa, Ciliglebeg, Cilimede, Cilibadrin, Cilimandira, Cilibayun, Cilikored, Cilijohar, dan Cilibred.
Dari sekian anak-anak Raden kenyep, hanya keturunan Syekh Ciliwulung yang dicatat rapih oleh para keturunannya. Syekh ciliwulung inilah yang menurunkan keturunan yang sekarang sebagian besar tinggal di Kresek dan sekitarnya.
Syekh Ciliwulung mempunyai anak yaitu Syekh Cinding, syekh Sauddin, syekh syuaib dan Ratu Fatimah.
Ratu Fatimah menikah dengan cucu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang bernama Raden Mahmud bin Pangeran Soleh pada masa pemerintahan sultan Maulana Manshur Abunnashar Abdul Kohar (1683-1687)  atau yang dikenal dengan sultan Haji.
Dari pernikahan ini mempunyai putra bernama Raden Hasan Bashri yang kemudian menjadi ulama besar yang tinggal di Cakung (kurang lebih satu kilometer dari Kresek) dikenal dengan nama syekh Hasan Bashri. Kuburannya sekarang ramai di ziarahi orang.
Syekh Hasan Bashri mempunyai empat orang anak yaitu Syekh Ibrohim di Cakung, syekh hasan Mustofa di palembang, dan nyai Ratu syarifah di tirtayasa.
Syekh Ibrohim mempunyai anak Syekh Abdullah yang dikenal dengan nama Ki Bulus. Syekh Abdullah menikahkan anaknya yang bernama Syekh Alim dengan Nyai Ratu hadisah cicit Sultan maulana Mansur. Ayah nyai ratu hadisah adalah Raden Nururrohim bin Pangeran Abdul Muid bin sultan Maulana Mansur Abunnashar Abdul Kohar.
Syekh Alim adalah seorang ulama besar yang mempunyai pesantren di daerah Kresek. Ia mempunyai anak Syekh Bendo atau syekh Murtadho, nyai Ratu Antimah, Nyai ratu Darwinah dan nyai ratu Aminah.
Dari Syekh Alim inilah banyak menurunkan para ulama yang sekarang ada di Kresek dan sekitarnya. Selain dari keturunan Syekh ciliwulung dan syekh Hasan Bashri, masyarakat Kresek juga terbentuk dari dibukanya perkampungan-perkampungan baru oleh Sultan agung tirtayasa yang akan disebutkan dalam pembahasan selanjutnya.
Sultan Agung Tirtayasa Membangun Kampung-Kampung di Tanara-Kresek
Pada tahun 1659 Sultan Agung Tirtayasa berencana membangun terusan dari sungai cidurian ke sungai cisadane. Sungai Cidurian adalah sungai yang melewati Jayanti, Kresek, Gunung kaler dan Tanara. Akhirnya proyek ini dimulai pada tanggal 27 April 1663. Terusan ini menghubungkan sungai cidurian ke sungai Pasilian, yang juga dinamakan Cimanceuri, melewati Balaraja sepanjang enam kilometer.
Pada tanggal 9 September 1663, sultan Agung Tirtayasa berangkat ke Tanara melalui laut dengan 150 kapal dan mengangkut limaribu orang laki-laki. Selain membuat terusan, sultan Agung juga membuat lahan persawahan baru yang membentang disekitar terusan. Dalam pembangunan itu sultan Agung membuat pesanggrahan untuk tetap tinggal di lokasi selama pembangunan. Diberitakan dalam tulisan berbahasa belanda dengan judul “La politique vivriere de Sultan Ageng’  yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Archipel  pada tahun 1995, bahwa rumah sultan itu berada di ‘pegunungan’ Tanara. Atau tempat yang agak tinggi struktur tanahnya di sekitar Tanara. Diperkirakan lokasi tepat rumah itu di  Gunung Kaler, pertengahan antara Tanara-Kresek.

Persawahan yang dibangun sultan Agung itu membentang datar dari mulai Sawah luhur sampai Pontang, dari Pontang sampai Lempuyang, dari Lempuyang  sampai Tersaba, dari Tersaba sampai Carenang, dari Carenang sampai Cikande, Dari Tanara Sampai Kresek, dari Kresek sampai Balaraja, dari Balaraja sampai Mauk, dari Mauk kembali sampai Kronjo. Di lokasi persawahan itu, Sultan Agung membuat desa-desa baru sebagai komunitas penduduk ‘Jawa-Banten’. Perpindahan penduduk dari ibu Kota Surosowan itu tidak hanya terbatas di daerah yang disebutkan di atas, Sultan juga membuat desa-desa baru di sepanjang sungai cisadane-Tangerang. Berbeda dengan daerah sebelumnya, penduduk baru ini diwajibkan menanam kelapa di sepanjang perbatasan dengan Batavia. Hal ini selain untuk kepentingan pangan, juga sebagai tantangan kepada musuh bebuyutan sultan agung yaitu pemerintah VOC di Batavia akan keseriusan Sultan Agung dalam sikapnya menentang segala macam monopoli yang dijalankan VOC.
VOC menganggap kampung-kampung baru yang di buat Sultan Agung ini sebagai politik kelas tinggi dari seorang raja yang cerdik. Bukan hanya mengakibatkan Banten menjadi Negara yang mandiri secara pangan, tapi juga membuat Kraton Surasowan tidak bisa di serang secara langsung oleh musuh, karena sebelum sampai ke kraton musuh harus berhadapan dengan penduduk-penduduk ‘Jawa’ yang setia kepada sultan. Dalam sensus tahun 1659 penduduk ‘Jawa’ di ibu kota Kota Surasowan  berjumlah 100.000,- orang. Sedangkan yang berada di pemukiman baru sekitar 30.000,- orang.
Kraton Surasowan memang kraton yang di sekelilingnya di bentengi oleh perkampungan orang-orang ‘Jawa’, yaitu orang-orang yang setia kepada sultan yang berbahasa dengan bahasa Kraton kesultanan, yaitu bahasa Jawa yang telah mengalami proses singkritis bahasa sehingga menjadi bahasa jawa yang khas yang berbeda dengan orang-orang jawa Mataram.
Mulai dari timur di sepanjang Sungai cisadane para penduduk menggunakan bahasa Jawa-banten, bahkan di Jakarta, mulai pemerintahan Mangkubumi ranamanggala terjadi 6000 eksodus orang-orang Jawa-Banten. Kemudian bahasa Jawa di Jakarta dan Tangerang bersentuhan dengan bahasa Melayu sehingga kemudian melahirkan dialek bahasa yang sekarang dikenal dengan bahasa Betawi.
Dari timur mulai Mauk, sukadiri, Kronjo, Mekar Baru, Kresek, gunung Kaler, Binuang, Carenang, sebagian Cikande, Tanara, tirtayasa, Pontang sampai sekarang masih menggunakan bahasa jawa-Banten.  Kemudian di wilayah Selatan mulai dari Padarincang, sebagian Ciomas, Serang,  Taktakan, kelapa dua, terus agak ke barat, kramat watu, plamunan, cibeber, cilegon, cigading, sampai ke Bojonegara, kesemuanya adalah penduduk ‘jawa’ yang mengelilingi Kraton Banten untuk sewaktu-waktu, selain mereka menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka juga  siap untuk berperang bila diperintahkan sultan.
Untuk waktu berikutnya, banyak bangsawan ‘Jawa’ Banten yang juga kemudian menjalin kekerabatan dengan penduduk asli di selatan Banten yang kemudian keturunan mereka berbahasa sunda.  Kemudian tradisi kesantrian tidak hanya menjadi monopoli orang-orang utara, tapi juga meyebar ke seluruh Banten. Bahkan, banyak kemudian muncul ulama-ulama besar dari orang-orang sunda Banten.
 Akhirnya Kraton Surasowan Banten tidak hanya dibentengi orang ‘Jawa’ atau mereka yang berbahasa Jawa, tapi oleh seluruh penduduk  Banten mulai dari Utara sampai selatan, timur dan barat, memiliki kesetiaan yang paripurna terhadap kesultanan Banten. Agama Islam berkembang di Banten dengan memiliki kekentalan yang lebih terasa dari pada perkembangan Islam di pulau Jawa lainnya. Sinkritisme Islam dengan ajaran kejawen  seperti yang terjadi di Mataram, tidak ditemukan di Banten.
Kini penduduk Banten berjumlah sekitar 9 juta jiwa  yang sepertiga dari mereka masih setia menggunakan bahasa Jawa sebagai warisan kesultanan Banten.

MENANTI PRESIDEN DARI BANTEN


Oleh
Arya Bantana Tanubaya

Keadaan Negara Indonesia yang semakin berada dalam titik nadzir kehancuran seperti sekarang ini melahirkan berbagai macam kepercayaan masayarakat akan hal-hal mistik tentang berbagai masalah, di antaranya soal kepemimpinan Negara. Contohnya kepercayaan mistis orang Banten bahwa Indonesia ini tidak akan Berjaya sebelum dipimpin oleh orang Banten.
Hal yang tersebut di atas, mungkin dipengaruhi pantulan kaca dari masa silam tentang kejayaan kesultanan Banten. Yang jelas, memang belum pernah ada presiden RI yang berasal dari Banten sampai sekarang. Dan yang jelas pula adalah bahwa Indonesia semakin hari semakin terpuruk jauh ditinggalkan bangsa-bangsa lain di dunia. Maka wajar, ketika orang Banten, secara mistis beranggapan bahwa keadaan Indonesia akan terus seperti ini sampai datangnya ‘ratu adil’ dari Banten.
Mungkin, orang-orang Banten, membandingkan presiden-presiden RI dari Sukarno sampai SBY dengan para Sultan-sultan Banten pada zaman keemasan kesultanan Banten. Karakter kepemimpinan antara mereka memang bagai langit dan bumi.
Ketegasan, keberanian, dan kearifan para sultan Banten telah membawa Banten menjadi Negara yang disegani bukan hanya di nusantara tetapi juga di dunia. Negara Banten pada zaman keemasannya (dari Sultan Maulana Hasanuddin sampai Sultan Agung Tirtayasa) tercatat sebagai Negara yang makmur dan tidak pernah terjadi krisis pangan. Perdagangan  internasional berjalan begitu ramai. Kapal-kapal dagang dari berbagai Negara eropa berlabuh di Banten untuk menjual atau membeli barang. Berbarengan dengan itu kemandirian ekonomi tetap dijaga. Orang-orang asing tidak diperbolehkan membeli tanah. Seluruh kebijakan perdagangan diatur oleh kesultanan, orang asing hanya menjalankan atau harus terpaksa patuh terhadap peraturan Kesultanan.
Berbeda dengan SBY yang ia akan mengetuk keputusan setelah meminta ‘restu’ dari Negara Paman sam. Subsidi rakyat di cabut karena New York memerintahkan itu. Indonesia sebagai Negara yang tanahnya mempunyai kandungan minyak yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, harus menjual minyak kepada rakyat dengan  harga yang sama  dengan harga pasar dunia yang mahal.
Bayangkan! Katanya kita sebagai Negara merdeka, tetapi sebenarnya kita bukanlah Negara merdeka. Kita adalah bangsa hina yang diatur oleh bangsa yang ‘mulya’. Bangsa mundur yang dikebiri oleh bangsa yang maju. Bangsa yang penakut yang di jajah oleh bangsa pemberani. Bukan rakyatnya yang penakut, tapi pemimpinnya yang pengecut.
Bayangkan! Di dunia ini ada Negara yang punya minyak, ada juga yang tidak. Ada yang sangat tinggi membutuhkan minyak untuk industry dan tehnologi,  seperti Amerika ada yang biasa-biasa saja. Dengan kekuatannya Amerika yang kehidupan negaranya dalam bidang industry dan tehnologi sangat tergantung kepada minyak, dengan kedigdayaannya ia mengatur harga minyak, agar seluruh minyak dunia di kumpulkan dalam satu ‘lumbung’ baru kemudian harganya di samakan, agar warga Amerika sebagai Negara yang miskin  minyak dapat membeli minyak dengan harga yang sama dengan warga Indonesia yang kaya minyak. Untuk apa? Agar Amerika tetap untung dalam perekonomian global. 
Sementara penjualan tehnologi seperti computer dsb, termasuk senjata, yang dihasilkan oleh minyak yang ia beli dengan murah, dijual kepada Negara-negara bodoh seperti Indonesia dengan harga yang di atur oleh amerika, tanpa melibatkan siapapun. Lalu teruslah terjadi amerika menjadi Negara yang semakin kaya dan Indonesia dan Negara-negara cemen lainnya menjadi Negara yang tetap miskin dan hina.
Berbeda dengan Presiden RI sekarang yang Nampak sebagai orang yang tidak tegas, penakut dan hanya mementingkan keamanan kekuasaannya tanpa memikirkan kemakmuran, jati diri bangsa dan yang paling utama adalah harga diri sebagai sebuah bangsa. Sementara para sultan Banten terkenal sebagai para pemimpin yang pemberani, jangankan hanya jabatan, nyawapun rela mereka korbankan demi kejayaan Negara dan agama. Sultan Maulana Muhammad rela mati meregang nyawa di atas kapal Indra Jaladri ketika memimpin peperangan di Sumatra Selatan. Sultan Maulana Yusuf langsung memimpin peperangan menghancurkan kerajaan Pajajaran yang di pimpin oleh kemenakannya sendiri karena saudaranya ini memimpin dengan penuh kedzoliman.
Sultan Agung Tirtayasa dengan sisa-sisa pasukan yang hanya berjumlah 400 orang  yang terdesak di Tirtayasa tetap tak mau mundur dari medan perang menghadapi ribuan tentara belanda. Baginya mati dengan terhormat lebih utama, daripada hidup terhina.
Sultan Agiluddin memenggal kepala utusan belanda yang bernama Peter dePuy karena memerintahkan Sultan untuk memindahkan kraton Surasowan ke Anyer untuk kepentingan Belanda. Padahal pada waktu itu kesultanan Banten sudah berada dalam kehancuran dan tidak mempunyai banyak tentara. Secara nalar, bila sultan seorang pengecut dan penakut, maka ia tahu resiko yang akan dihadapinya atas tindakan yang demikian. Tetapi ksatria tetaplah ksatria. Kehormatan di atas segalanya.
Harga diri bangsa yang tercemar semakin nista seperti bangkai, ketika kita sebagai bangsa sudah tak mampu lagi bangga kepada budaya kita yang luhur. Kita hanya bisa membanggakan budaya orang luar, sementara kita menyia-nyiakan identitas bangsa sendiri. Anehnya, para pemimpin kita tidak ada yang mempunyai sensitifitas budaya. Budaya sendiri dianggap kampungan. Untuk menghancurkan Indonesia, Amerika  tidak perlu menggunakan senjata canggih seperti kepada bangsa-bangsa yang kuat semacam  Afghanistan, Korut dan Iran, cukup dengan menghancurkannya dengan budaya, maka Indonesia akan hancur berserakan.
Negara Korsel bisa bangga hanya dengan SUJU, karena SUJU telah mampu menjadi icon Korsel untuk menjadikan Korsel menjadi Negara yang di kenal dunia dan budaya mereka diikuti oleh Negara-negara bodoh semacam Indonesia.
Dengan mempertahankan pakaian sari dan tarian serta nyanyian india yang membosankan, Negara India bisa terkenal di dunia dan, sekali lagi, bisa membuat bangsa Indonesia yang bodoh mabuk kepayang dengan mendengarkannya.
Dengan bangga Negara cina, Jepang, Korut dan Korsel serta Thailand mempertahankan tulisan dan bahasa mereka yang terdengar sama di telinga, dan itu bisa membuat mereka terhormat sebagai bangsa.
Orang inggris, walau sekarang mereka tidak lagi menjajah bangsa-bangsa di dunia dengan kekuatan senjata, tapi mereka punya kebanggaan sebagai bangsa karena seluruh warga dunia sudah mengikuti keinginan mereka menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa dunia. Secara ekonomi, inggris sudah diuntungkan dari segi bahasa. Karena untuk menjalankan bisnis dunia orang paling bodoh di inggris sudah bisa berbisnis dengan orang Indonesia yang paling pintar, karena orang inggris sejak lahir sudah bisa berbahasa inggris, sementara orang Indonesia utk bisa berbisnis dengan orang inggris harus menghabiskan banyak waktu dan uang terlebih dahulu untuk bisa berbicara dengan bahasa inggris.  
Bukti sebuah Negara itu kuat atau tidak, lihat para pemimpinnya ketika sedang berkomunikasi dengan pemimpin Negara lain, apakah dia berbahasa dengan bahasa sendiri sehingga pemimpin Negara lain harus sibuk mencari penerjemah, ataukah ia menggunakan bahasa inggris. Yang artinya belum apa-apa ia sudah kalah karena mengikuti bahasa musuh diplomatiknya.
Kalau begitu memang benar sebagian anggapan masyarakat Banten yang menyatakan bahwa sudah saatnya Banten berdiri menjadi penyelamat Negara yang kita cintai ini. Negara yang telah kita sepakati sebagai sebuah Negara yang disatukan oleh keinginan bersam untuk merdeka.
Secara nasab kepemimpinan, putra-putra Banten adalah keturunan para pemimpin dunia. Terutama bagi para keturunan sultan Banten. Dimana Sultan maulana hasanuddin adalah putra Sunan gunung jati, penghulu para wali-wali di Indonesia dan juga raja Cirebon. Ibu Sunan Gunung Jati, nyai Lara santang adalah putri Prabu siliwangi raja Pajajaran. Dan Ayah Sunan Gunung Jati adalah Syarif Abdullah seorang raja campa (menurut satu pendapat syarif Abdullah mempunyai aanak tiga, Syarif  hidayatullah, Raden Fatah dan Raja campa, penggantinya, sedang menurut pendapat lain, Syarif Abdullah adalah  raja dari Mesir dan Raden fatah adalah anak raja majapahit).
Sedangkan Syarif Abdullah adalah keturunan dari adzomat Khan, raja india. Dan Adzomakan adalah keturunan dari Rasulullah saw. Yang menguasai sepertiga dunia. Dan rasulullah adalah keturunan Nabi ibrohim, yang keturunannya menjadi penguasa dunia saat ini.
Tentunya seseorang yang mempunyai nasab kepemimpinan yang teruji, diharapkan akan lebih matang dalam membawa mustika kepemimpinan yang telah turun temurun itu.
Wallahu a’lam bishowab.

MERUBAH NAMA NEGARA INDONESIA


URUN REMBUK KEBANGSAAN:
MERUBAH NAMA NEGARA INDONESIA DAN LAMBANG GARUDA

Oleh:
Arya Bantana Tanubaya

Nama Indonesia sudah terbukti nama yang kurang berkah. Ketertinggalan Indonesia di antara semua bangsa di dunia membuktikan bahwa ada yang salah dari mental bangsa ini. Atau memang hanya mental para pemimpinnya saja yang bermasalah, sehingga kemudian turun menjadi kesan masalah bangsa. Kekayaan yang Tuhan limpahkan kepada tanah air ini tidak sebanding dengan kemakmuran yang dirasakan rakyatnya. Pengelolaan sumberdaya alam ternyata hanya membuat kenyang segelintir orang, sementara yang lain masih kelaparan.
Kita harus bangkit sebagai bangsa!
Banyak hal yang harus kita rubah untuk menjadi bangsa dan Negara yang kuat. Menurut tradisi masyarakat, bila mempunyai anak yang sering sakit-sakitan orang tua biasanya merubah nama anaknya. Mungkin itu juga yang harus kita lakukan kepada nama Negara kita, INDONESIA.
Nama Indonesia adalah nama yang berasal bukan dari kebiasan nenek moyang kita menyebut diri mereka sebagai bangsa. Nama Indonesia pertama kali diperkenalkan orang-orang barat dalam buku-buku geografi sekitar awal 19 untuk menyebut jajaran pulau-pulau di Negara Indonesia hari ini. Sedangkan nenek moyang kita menyebut Negara kita ini sebagai Nusantara atau Dwipantara yang berarti jajaran pulau-pulau yang luas yang dipisahkan oleh lautan.
Orang-orang arab menyebut orang-orang dari Nusantara sebagai orang Jawi, walaupun mereka berasal dari Sumatra atau Kalimantan. Namun penamaan Jawi, walaupun memang sudah berlaku untuk bangsa kita sejak dulu, akan dirasa kurang adil untuk orang-orang yang berasal selain dari pulau Jawa.
Maka, menurut Penulis, kita harus kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa dengan menamakan Negara kita ini dengan nama yang kita buat sendiri, bukan dengan nama yang dibuat oleh musuh kita. Kita tinggalkan nama INDONESIA yang dulu diberikan orang-orang Eropa, yang mungkin waktu memberikan nama itu sama sekali tidak membaca do’a.
Mari kita undang para ulama untuk membuat riungan besar, berdzikr bersama, berdoa bersama, bila perlu juga marhabanan, untuk menggunting rambut Negara kita dan memberikannya nama baru NEGARA KESATUAN NUSANTARA JAYA (NKNJ).
Lalu Lambang burung Garuda juga bermasalah. Selain dari bentuknya yang kelihatan tidak hidup atau kelihatan jeger (kaku), dari cara memilih binatang yang kita jadikan sebagai lambang juga kurang tepat.
Kenapa harus burung garuda yang hanya seekor burung mitos sejak dahulu kala? Sehingga anak-anak kita tidak bisa mencerna falsafah dari lambang itu karena tidak ada dalam kenyataan. Semestinya lambang itu bisa menjadi motifasi dan penyemangat  bagi anak bangsa untuk maju, tapi kenyataan mengatakan TIDAK.
Maka lambang burung garuda juga menurut penulis harus di ganti. Lalu pertanyaannya diganti dengan apa? Jawabannya, dengan sesuatu yang lebih nyata bagi semua bangsa kita. Yang bisa menjadi motifasi dan penyemangat. Yang kelihatan hidup. Bukan yang kelihatan seperti binatang yang di air keras. Kaku. Tidak  berwibawa.
Mungkin SURYA MAJAPAHIT bisa menjadi alternative.
APAKAH BENDERA JUGA HARUS DI RUBAH?
Bila perlu, YA.
DENGAN WARNA APA DAN POLANYA BAGAIMANA?
Dengan warna mayoritas dari kerajaan-kerajaan di NUSANTARA. Kumpulkan dulu para sejarawan, lalu mereka meneliti warna-warna dominan dari berbagai macam kerajaan lalu disatukan dan dibuat pola yang bagus. Apakah kita tidak perhatikan banyak anak-anak muda yang memakai kaos dengan gambar bendera Inggris atau Amerika, kenapa? Karena warna dan polanya menarik.
INI BUKAN MAKAR. INI ADALAH SEMATA CINTA UNTUK NEGARA TERCINTA.